Senin, 29 April 2013

"Katro vs Gaul"


Sebuah cerpen tentang budaya bangsa kita yang sudah mulai luntur,, 
       
    "Katro vs Gaul"

Siang ini, cuaca begitu cerah, mungkin bila di kota tetangga, setiap orang tengah mengeluhkan teriknya matahari. Namun tidak bagi kami, warga Kuningan yang selalu menikmati kesejukkan udara dari gunung yang menaungi tempat tinggal kami. Aku sangat bersyukur diberikan jatah oleh yang Maha kuasa untuk menghirup udara kota ini. Udara yang lebih bersih dan sejuk bila dibandingkan dengan panasnya kota tetangga, yaitu kota Cirebon.
            Aku dilahirkan disalah satu desa di Kuningan. Kota yang berdiri di kaki gunung Ciremai. Desaku jauh dari kota Kuningan, penduduk nya pun tak sebanyak di desa-desa lain yang ada di kota Kuningan. Saking jauh nya dari kota dan keramaian kota, desaku layak saja di sebut desa terpencil atau daerah pelosok mungkin. Untuk menjangkau jalan raya saja aku harus melewati rimbunnya hutan dan jalan yang begitu rusak. Tak pernah terbersit sedikit pun rasa tak betah di hatiku. Dengan jarak yang begitu jauh ke manapun, atau dengan ancaman hutan yang kadang turut menghantui. Aku tetap bangga dan betah dengan desa kelahiranku ini.
            Orangtuaku yang asli Kuningan tentu bersuku Sunda. Memberikan nama terindahnya untuk ku. Yaitu Asep Saefullah. Aku bangga dengan nama ini, dengan nama panggilanku, Asep, atau saudara yang dekat denganku lebih akrab memanggilku ncep (baca: encep). Aku tak pernah merasa keberatan dengan sebutan itu. Dengan nama ini aku merasa jiwaku lebih melekat dengan suku ku. Suku tercintaku. Yaitu suku Sunda. Selama tujuh belas tahun ini namaku melekat erat di diriku. Membuatku semakin mengakui dan membanggakan Sundaku. Aku memiliki kakak perempuan yang bernama Euis dan adik perempuanku bernama Neneng. Aku satu-satunya anak laki-laki dalam keluargaku. Sekilas tentang nama, mungkin bila aku memperkenalkan keluargaku pada salah satu temanku di Jakarta atau kota besar lainnya. Satu kata yang tercetus dari mereka. Katro, Jadul atau apapun istilah sejenisnya.
            Suatu hari di bulan Juli. Aku tercatat sebagai lulusan SMA dengan nilai Ujian Nasional terbaik. Aku berpeluang besar meneruskan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan nilai yang tinggi. Guru-guruku merekomendasikanku untuk meneruskan ke beberapa perguruan tinggi di kota-kota besar. Singkat cerita, atas do`a ibu dan semua keluargaku. Aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sungguh aku bersyukur, dan yang lebih membuatku bersyukur adalah aku dapat berkuliah di sana dengan beasiswa. Alhamdulilah. . .,
            Karena tempat menuntut ilmuku jauh dengan tempat tinggalku. Secara tomatis aku harus pindah untuk sementara waktu ke Jakarta. Dengan berat hati, hari yang ku nanti sekaligus hari yang tak ingin ku lalui ini hadir. Hari dimana aku harus meninggalkan semua kenyamananku. Meninggalkan hangatnya kasih sayang keluarga. Dan meninggalkan kesejukkan yang sangat ku nikmati selama ini. Walaupun tidak untuk selamanya, namun perpisahan ini cukup membuat langkahku begitu berat meninggalkan desaku.
            “Asep angkat nya mih”  (Asep berangkat ya bu). Ucapku saat menjabat tangan kasar ibuku. Lalu kucium punggung tangannya.
“Asep kahade nya di kota. Kedah tiasa ngajaga diri. Teu kenging bangor, tong hilap solat nya kasep”. (Asep hati-hati ya di kota, harus bisa menjaga diri, jangan nakal, jangan lupa sholat ya ganteng.) pesan ibuku saat membelai lembut kepalaku.
“muhun mih, Insya Allah” (Iya bu, Insya Allah).
Setelah berpamitan pada ibu, dan meminta restu dari semuanya. Berangkatlah aku ke Jakarta. Dengan berbekal uang seadanya, sebuah handphone dan tas ransel yang berisi pakaian, perlengkapan sholat dan sebuah mushaf. Aku melangkah pasti, walaupun seorang diri. Aku yakin akan keselamatanku sampai ke tempat tujuanku.
            Kini empat bulan sudah aku tinggal di Jakarta. Dengan bantuan sesama mahasiswa universitas ini, sedikit demi sedikit aku mulai belajar dengan keadaan baruku saat ini. Empat bulan ini sungguh waktu yang begitu lama bagiku. Aku bagai terlempar ke suatu negeri antah berantah. Aku yang sebelumnya hidup dengan segala sesuatu yang begitu alami, sejuk dan nyaman. Kini harus mejalani hidup yang benar-benar berbeda. Aku harus membiasakan diri menikmati kemacetan. menikmati terik mentari di siang hari. Dan menikmati polusi di sana sini.
Kata yang tak jarang hinggap di telingaku yaitu katro. Aku memang seperti ini adanya, selama ini aku masih cuek dengan keadaanku. Dengan apa adanya aku. Aku merasa baik-baik saja, dan tak ada yang perlu dirubah dari diriku. Selama aku yakin bahwa aku tak mengganggu siapa pun. Aku tetap seperti ini. Namun suatu hari seorang perempuan menegurku. Saat aku tengah asyik menikmati makan siang di salah satu warung tegal di sekitar kostan ku.
“bang, baru ye tinggal di Jakarta??” sapa nya padaku. Karna kebetulan saat itu hanya aku yang jaraknya paling dekat dengannya.
muhun, makan neng,” jawabku seramah mungkin.
“abang kenape si pakeannya kaya gitu?” tanyanya tanpa menjawab tawaran makanku.
“memangnya kenapah neng?? Ada yang salah dengan sayah??”
Dengan logat kental sunda aku justru bertanya kenbali.
Sejenak dia hanya terdiam sambil memerhatikan pakaianku kala itu.
            “mpok, teh manisnya satu ye” ucap nya pada seorang penjaga warung.
            “kenapa atuh neng pakaian saya teh??” tanyaku padanya.
            “ya abang aja ngerasanya gimana?? Bener ngga pakeannya kaya gitu ke warteg??”
            “ya bener atuh neng, aurat saya tertutup, saya berpakaian sopan kann??” jawabku pasti.
            “hahaah, ini kan warteg bang, bukan mushola, abang ga malu ya pake sarung sama koko ke sini?” katanya dengan di iringi tawa.
            “ada juga saya yang nanya sama neng, neng ga malu berpakaian seperti itu?”
            “saya? Oh tentu ngga dong, saya justru sangat percaya diri dengan penampilan saya.”
            ari neng teh sadar tidak? Neng teh berpakaian seperti apah??”
            “saya trendy bang, funky, gaul, seumuran saya memang sedang trend memakai pakaian seperti ini. Pastinya saya sangat percaya diri dengan ini semua”
Dalam hati, aku beristighfar berkali-kali. Pemandangan seperti di sampingku ini, memang telah beberapa bulan trakhir ini mengotori mataku. Pemandangan indah yang seharusnya terbungkus rapat. Justru di biarkan terbuka atas dasar gaul, funky dan trendy.
            punten atuh neng, da sayah mah tidak ada niat buat nyeramahin neng, tapi neng, bukankah yang seharusnya malu itu neng? Bukan saya? Neng teh perempuan neng, tidak seharusnya berpakaian ketat dan terbuka seperti ini.”
Kebetulan gadis di samping saya ini, mengenakan tanktop berwarna merah, dengan celana jeans super mini yang hanya sebatas paha. Dengan rambut panjang terikat rapi dan riasan wajah yang cukup tebal. Cukup cantik, namun akan lebih cantik jika make up nya tak setebal ini.
“Loh emngnya kenapa bang? Ini hak saya donk, lagian kan gerah juga Jakarta, nih abang ngerasain sendiri kan?”
“memang betul neng, ini hak neng dan Jakarta memang gerah, namun bukankah lebih aman jika neng berpakaian yang lebih tertutup?”
“trus maksud abang saya harus pake daster gitu? Peke kerudung gitu?” jawabnya mulai dengan nada aga tinggi.
            “ya ga gitu juga neng, seenggaknya neng pake baju yang berlengan dan tidak ketat, dan memakai bawahan yang aga panjang, pakaian seperti ini tetap boleh neng pakai, hanya sebatas di kamar atau tempat tertutup lainnya” jawabku tetap santai.
Si mba penjaga warung tetap sibuk melayani pembeli lainnya. Yang lain ada yang sedikit mencuri dengar dan ada yang sengaja memperhatikan perbincangan kami. Namun tak ada yang berani turut campur.
            “ abang tuh katro banget sih, masak iya saya harus seperti itu, harusnya abang tuh yang ngaca! Pake pakean ga gaul banget! Ini Jakarta bang, sudahlah ga ada untungnya ngomong sama orang katro!” katanya seraya menutup pembicaraan. Tak menginginkan saya menjawab pernyataannya. Setelah memberikan beberapa lembar uang, si gadis pun berlalu entah ke mana.
            Apa-apa an ini? Mengapa jadi aku yang salah? Budaya manakah yang mewajarkan ini. Aku akui, sebagai laki-laki normal, aku tak menolak pemandangan indah itu. Yang memang sangat langka di desaku. Aku tak munafik, terkadang aku memang menikmatinya. Namun dalam hati kecilku, bisikan hatiku menolak. Dan tak mengizinkan mataku terus menuruti hawa nafsu. Ahh!! Entahlah, aku semakin bingung dengan dunia baruku ini. Dunia yang menurutku sudah gila, atau lebih tepatnya yang penduduknya gila, gila akan popularitas dan sejenisnya. Demi semua itu mereka turuti apa pun kemauan zaman, di sadari atau tidak, budaya ketimuran kita telah terkikis oleh perkembangan zaman. Kita bahkan lebih bangga dengan gaya hidup yang kebarat baratn. Astaghfirullah. . .,
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar